Selasa, 30 September 2014

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjJpXHKbhBSVBn1xW_beeZKhRPg7qfkFxdSfmr7Y4VJMxhtLYua4CKttSP_sRO0e7x4Y_xAgJ_ITxkY3cxYtad-XVqUgG6vjoYMhJwZUBz2VCeJhDexVay2KGiEWfdAmrN08XcWuAoZIZ4/s1600/menjadi+nomor+satu+di+google.jpg
penulis: Yulvita Avianti

Dalam masyarakat kita berkembang budaya bahwa nomor satu adalah prestasi tertinggi. Terutama dalam dunia pendidikan. Anak-anak dituntut untuk menjadi juara satu di sekolahnya. Para orang tua berlomba -lomba untuk memasukkan anaknya ke lembaga bantuan belajar yang bergengsi agar anaknya bisa mendapatkan ranking satu. Bahkan dalam pergaulan pun sudah tertanam dalam pikiran anak-anak bahwa menjadi nomor satu itu adalah tingkatan yang terbaik.
Efeknya adalah berkembangnya budaya yang sukar menerima kekalahan. Karena dogma yang sudah tertanam dalam pikiran bahwa menjadi nomor dua tidaklah bisa diterima. Anak-anak sejak kecil dididik, diajarkan, didorong untuk menjadi nomor satu, menjadi juara satu. Bahkan banyak orang tua yang menghalalkan segala cara agar anak-anak mereka menjadi juara satu. Para orang tua terbiasa untuk merayakan juara satu tapi tidak pernah memberi perayaan untuk si juara dua apalagi tiga dan seterusnya. Tidak heran di masyarakat kita sekarang berkembang budaya menghalalkan segala cara untuk mendapatkan sesuatu.

Tidak ada yang salah mengajarkan anak untuk memiliki sifat kompetitif. Sifat kompetitif yang baik akan memacu seorang anak untuk maju dan berkembang. Akan tetapi jika berlebihan dan tidak diterapkan dengan bijaksana sifat kompetitif itu justru akan memberi tekanan pada si anak. Dan kalau itu diterima oleh anak yang bermental kuat, maka si anak akan menjadi pribadi keras dan sangat kompetitif, yang susah menerima kekalahan atau susah legowo. Sebaliknya, jika si anak tidak memiliki mental yang kuat, sifat kompetitif yang dipaksakan justru akan menjadikannya terpuruk dan tidak memiliki rasa percaya diri yang baik. Bayangkan jika seorang anak selalu dituntut untuk menjadi unggul dalam segala hal, tidak dilihat apa yang menjadi talentanya atau apa kelebihannya dan lebih parah lagi tanpa pernah dipuji atau dihargai atas usahanya. Alhasil alih-alih menjadi berhasil si anak akan menjadi tertekan atau akan tumbuh menjadi pribadi yang membenarkan segala cara agar dia bisa memenuhi apa yang dituntut dari dirinya. Inilah salah satu pemicu stres pada kaum muda yang membuat budaya bunuh diri semakin berkembang.
Sebenarnya jika kita mau sedikit merubah pandangan kita maka kita bisa menghasilkan generasi yang lebih menghargai kerja keras dan usaha alih-alih mementingkan peringkat atau predikat juara. Jika sedari kecil anak-anak diajarkan untuk memberikan usaha terbaiknya dan dipuji untuk hal itu tanpa peduli hasil akhirnya, maka mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang lebih menghargai proses daripada hasil. Dan itu lebih baik, sungguh. Selain mereka akan menjadi orang yang lebih percaya diri, mereka juga akan menjadi orang yang lebih menghargai orang lain.
Ajarkan putra putri kita untuk menghargai diri mereka sendiri serta kemampuan dan kerja keras yang mereka lakukan. Langkah awalnya adalah memulai dari diri kita untuk menghargai mereka. Pujilah ketika mereka sudah memberikan usaha terbaiknya, lepas dari apakah dia menjadi juara atau tidak. Tanamkan dalam pikirannya bahwa Anda menghargai usaha yang dia berikan bukan hasil akhirnya. Tidak ada yang salah untuk menjadi nomor dua, tiga dan seterusnya sejauh itu adalah usaha terbaiknya.
Hal yang tidak kalah penting adalah selalu mengingat untuk mengenal dengan baik bakat dan kemampuan anak kita. Jangan terburu-buru memutuskan bahwa anak kita kurang pandai hanya karena nilai pelajaran matematikanya tidak mencapai angka 7. Mungkin saja si anak lebih berbakat dalam menyusun kalimat, sehingga nilai mata pelajaran bahasanya selalu mendapat angka 9. Itu pengalaman pribadi saya. Selama saya sekolah saya jarang mendapat nilai baik dalam pelajaran matematika. Apakah saya bodoh? Saya pikir tidak begitu, karena nilai bahasa Indonesia saya tidak pernah kurang dari angka 8. Dan entah mengapa saya sekarang justru menjadi guru les matematika. Mungkin ketika saya sekolah matematika tidak menarik minat saya seperti pelajaran bahasa Indonesia dan itulah mengapa nilainya tidak pernah bagus. Dan terbukti itu bukan karena saya bodoh. Jadi ketika anak kita tidak mendapat nilai bagus dalam satu mata pelajaran, jangan buru-buru memutuskan bahwa dia bodoh. Atau jika ternyata anak kita tidak bagus dalam nilai akademis, coba perhatikan lagi, mungkin dia menonjol dalam seni atau dalam bidang olahraga.
Ingat selalu bahwa setiap anak adalah istimewa. Mereka lahir dengan bakat dan kemampuan yang berbeda. Bahkan dalam satu keluarga pun bisa saja si ayah jago matematika, ibu ahli melukis, dan anak-anaknya pandai tarik suara dan olahraga. Tidak ada yang salah dengan itu. Hindari untuk membandingkan anak yang satu dengan anak yang lain. Pun hindari membandingkan anak kita dengan teman-temannya. Bukan memotivasi jika tidak hati-hati itu justru akan menimbulkan persaingan yang tidak sehat. Akan lebih baik jika alih-alih membandingkan, kita justru terus menyemangati dan mendorongnya untuk memberikan usaha terbaiknya. Dan berikan juga kebebasan dalam mengembangkan bakat dan hobinya. Serta jangan lupa selalu pujilah karena usahanya bukan hasil akhirnya.
Beberapa waktu yang lalu saya belajar langsung dari seorang teman yang anaknya ikut lomba balap karung dalam rangka peringat HUT RI. Si anak tidak juara, bahkan juara harapan pun tidak. Tetapi ketika dia mencapai garis finish, orang tua dan kakak-kakaknya menyambut dan memujinya mengatakan dia hebat karena berhasil mencapai garis finish. Bagi keluarga itu, proses bagaimana si kecil berusaha keras untuk mencapai garis finish lebih berarti daripada embel-embel juara. Saya percaya si anak akan tumbuh menjadi pribadi yang menghargai usaha, yang berusaha memberikan yang terbaik dalam setiap usahanya dan memiliki mental yang kesatria dan legowo dalam menerima kekalahan. Bayangkan jika semua generasi muda dididik dalam pola asuh seperti itu, saya yakin di masa depan kebiasaan untuk menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, termasuk melakukan korupsi, kolusi, suap, cara-cara kotor lainnya pasti bisa ditekan seminimal mungkin. Dan pastilah jumlah remaja yang terpuruk dalam hal-hal buruk karena tertekan akan semakin berkurang.

sumber: http://keluarga.com/haruskah-menjadi-nomor-satu

0 komentar:

Posting Komentar

Sample text

Pages

Social Icons

Social Icons

About Me

Foto Saya
Facebook: https://www.facebook.com/yutdydili.ramadhani Twit: https: @YutdyDili Ask.fm: http://ask.fm/Yutdy

Followers

Search Me